JEMARI Sakato

collapse
Home / Program CLP / Perlunya Anak Dilibatkan dalam Musyawarah Pembangunan

Perlunya Anak Dilibatkan dalam Musyawarah Pembangunan

2020-02-08  Jemari Sakato

Sabtu, 08 Februari 2020 - 15:14:44 WIB

SUDAH menjadi rahasia umum bahwa awal tahun merupakan momentum bagi pemerintah di level grass root untuk merencanakan pembangunan daerahnya ke depan. Perencanaan pembangunan tersebut dimulai dengan Musyawarah Rencana Pembangunan (musrenbang) di level pemerintahan terendah hingga implementasi di tahun berikutnya. 


Oleh: Syahrial Maulida Tsalis
(Pemerhati Perencanaan Pembangunan Daerah JEMARI Sakato Sumatera Barat)

 

Sederhananya, Musrenbang adalah proses mengumpulkan pendapat dari berbagai kalangan masyarakat tanpa terkecuali. Hal ini juga berlaku pada anak sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri.

Namun, dalam proses tersebut keterlibatan anak dalam Musrenbang belum dilihat sebagai hal penting oleh masyarakat. Padahal peluang keterlibatan anak ini sudah diamanahkan melalui UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 21 ayat 1 bahwa negara, pemerintah, dan pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggungjawab menghormati pemenuhan hak anak tanpa membeda suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental.

Hak anak untuk menyatakan pendapat juga telah menjadi perhatian dunia internasional dalam dekade terakhir ini, khususnya melalui konvensi hak anak. Oleh karena itu, upaya untuk mengakui bahwa anak-anak juga merupakan komunitas di nagari patut diapresiasi.
Keterlibatan anak dalam Musrenbang Nagari tentunya akan memberikan warna baru bagi Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Nagari. Karena setiap isu pembangunan yang berkaitan dengan anak muncul secara langsung dari suara perwakilan anak yang hadir pada saat musrenbang. Kebutuhan anak yang tidak sesuai, justru membuat anggaran nagari tidak produktif. Puluhan juta anggaran nagari dikucurkan untuk membangun taman bermain anak justru tidak difungsikan dengan maksimal. 

Definisi anak secara universal yang diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia pada Convention of the Right of the Child  berusia dari 0 atau masih dalam kandungan sampai dengan 18 tahun. Pada konvensi yang sama juga disepakati hak anak yang terdiri dari empat poin, yaitu kelangsungan hidup, dilindungi, tumbuh kembang, dan partisipasi. 
Pertama, hak kelangsungan hidup. Hak ini diantaranya meliputi mendapatkan kasih sayang, mendapatkan asi eklusif, mendapatkan akte kelahiran dan lain-lain. Kedua, hak  dilindungi. Hak ini meliputi perlindungan dari kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, tindak kriminal dan hal-hal lain yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap anak. 

Ketiga, hak tumbuh dan berkembang. Hak ini meliputi makanan yang bergizi, istirahat, bermain, pendidikan dan lain-lain. Keempat, hak partisipasi. Poin ini meliputi menyampaikan curahan hati, pendapat dalam musyawarah keluarga, memilih pendidikan sesuai minat dan bakat, dan lain-lain.

Sejauh ini pemerintah melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pemerintah Nagari sudah mendorong pemenuhan hak-hak anak tersebut melalui banyak program pembangunan. Contohnya saja, pemerintah sudah memudahkan pengurusan akte kelahiran melalui pelayanan keliling di banyak nagari. Pemerintah Nagari juga sudah mengatur pemenuhan makan yang bergizi melalui program Bantuan Tambahan Makanan (BTM), dan peningkatan mutu pendidikan oleh dinas terkait.
Perlindungan anak juga dilakukan dengan berbagai kegiatan sosialisasi tentang kekerasan terhadap anak dan pembentukan kelompok perlindungan anak berbasis masyarakat melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 

Jika dilihat lebih jauh, pemerintah sudah mulai menunjukkan upaya konkrit dalam pemenuhan hak anak, baik melalui rencana kerja pemerintah nagari maupun melalui rencana kerja Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) terkait. Namun sayangnya upaya ini tidak terlalu menyentuh hak anak yang terakhir disebutkan, yaitu hak partisipasi.
Terkait kasus ini, peranan anak belum terlihat signifikan dalam proses perumusan program yang berkaitan dengan anak. Padahal jika partisipasi anak dimaksimalkan, maka akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pembangunan.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No 3 Tahun 2011 tentang Kebijakan Partisipasi Anak dalam Pembangunan Pasal 1 ayat 2 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan partisipasi anak adalah keterlibatan anak dalam proses pengambilan keputusan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya dan dilaksanakan atas kesadaran, pemahaman serta kemauan, dan anak mendapat manfaat dari keputusan tersebut. Musrenbang sendiri sejatinya adalah proses pembangunan yang berada pada zona partisipatif. 

Oleh sebab itu, seyogyanya Pemerintah Nagari melalui panitia musrenbang nagari perlu mendorong lebih jauh keterlibatan anak dalam proses Musrenbang. Ingat, keterlibatan anak bukan sekadar hadir untuk memenuhi hal-hal yang bersifat administratif, melainkan juga menyampaikan ide serta gagasan yang mereka miliki. Toh, anak adalah masa depan dari nagari itu sendiri, sehingga penting bagi anak untuk menyampaikan aspirasinya.
Jika Pemerintah Nagari mampu menciptakan proses Musrenbang yang mewadahi setiap unsur masyarakat, termasuk anak, maka besar kemungkinan setiap kebijakan pembangunan yang ditujukan terhadap anak dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Artinya, pemerintah sebagai penyedia layanan dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan anak.  Oleh karena itu, anak seharusnya menjadi subjek pembangunan bukan sekadar objek semata.(*)

 

 Editor : Dodi

Artikel ini sudah dimuat dalam Harian Haluan.com edisi 08 Febuari 2020

https://www.harianhaluan.com/news/detail/86236/perlunya-anak-dilibatkan-dalam-musyawarah-pembangunan


2020-02-08  Jemari Sakato